DIA MERAH, DIA HUMAYRAKU

CIPANAS, 3 Jan 2021

   Sekitar jam 11 siang, kupamit kepsek pesantren untuk pulang duluan ke rumah karena istriku mau melahirkan. Sepanjang 1 jam perjalanan, ku tak bisa berpikir apapun selain langsung nyampe rumah & melihat bayiku yg misterius (Bulan kemaren di usg masih ga jelas kelihatan laki/perempuan). 

   5 hal yg jelas adalah tensi & denyut jantung normal, posisi tali pusar & plasenta normal (ga melilit leher & ga menghalangi jalan lahir), posisi kepala sudah dibawah, jadi ku optimis bisa lancar lahir normal di rumah, apalagi pas nelpon istriku udah bilang ga kuat (lemes & sakit) kalau dibawa pake motor/mobil ke bidan dengan rute naik turun gunung berlumpur & berbatu -rute kampung kami di pinggir hutan, akses jauh dari RS. JADI lahiran di rumah adalah opsi keselamatan yang utama.

   Jam 12an nyampe di rumah kulihat anak2 terlihat tenang main di kamarnya. di belakang sudah ada tim pendukung "sisterhood": 2bibi & 1paraji desa siap menemani istriku dalam kamar yg sudah didesain khusus buat bersalin (Simpel banget cuma tikar dilapis selembar PAD penyerap darah diatasnya). kulihat istriku pucat, lemes, merintih sakit. kutanya:" udah sarapan?" blom jawabnya. "pantes, gimana mau kuat mengejan kalo ga ada energi?"

   Lalu kubuat minuman rebusan kurma 1 kg,1 batang rumput (fatimah) & 4 gelas air. ini terinspirasi dari Quran surat maryam, tentang perjuangan bunda maryam yg mendapatkan energi dari kurma saat hamil & melahirkan bayi isa almasih.

   Jam 13an kuambil 1 gelas rebusan kurma anget2 kuku, langsung habis diminum istriku. tidak lama kemudian (sekitar 15 menit) mulai kontraksi sampe pecah ketuban. istriku mengejan telentang sambil tangan kanannya pegangan tanganku dan tangan kirinya pegangan bibi. lalu mengejan lagi hingga keluarlah kaki si jabang bayi (sungsang trujun, jelas ini diluar ekspetasi-semua wajah terlihat panik), kontraksi terus berlangsung sampai badan bayi keluar (semua mulut beristighfar).

   Kontraksi terhenti saat posisi kepala bayi masih didalam, nyangkut! leher bayi tercekik jalan lahir (bibi sampai menangis melihatnya, sambil komat-kamit merapal doa).

   Wajah istriku terlihat kebingungan sambil bertanya: "udah kluar bi bayinya?" kujawab: "belum, kepalanya masih di dalem." istriku mencoba bangkit, "coba bantu bangunin kumau lihat".

   Ya Allah! ucapnya stelah melihat kondisi yg sebenarnya, lalu dengan tenaga yg tersisa istriku berusaha mengejan lagi meski tanpa kontraksi rahim. sisterhood membantu dorong perutnya namun tak terlihat hasilnya. paraji terlihat bingung mencoba menarik2 badan & kaki bayi, tapi masih takut copot/ patah tulang leher bayi, bahkan dia mencoba meregangkan jalan lahirnya namun ga berhasil, keburu diteriakin istriku "aduuuh sakiiit!"

   Paraji itu terlihat sangat panik & ketakutan sambil bilang: "aduuh aing mah, urang teu sanggup tanggung jawab kos kieu mah" sambil kabur meninggalkan TKP. diluar ruangan kudengar dia diomelin bapak mertuaku yg jaga pintu keluar.

   Segera kuambil HP untuk memanggil bidan, namun sia2 tak ada jawaban. kuminta bantuan mang yani (yg wajahnya juga panik terlihat matanya berkaca2) untuk menjemput bidan pake motor.

   Sambil nunggu bidan, kuberi minum istriku segelas lagi minuman sari kurma kemudian kuambil sebotol zaitun buat kutuang sebagian minyaknya ke leher bayi & jalan lahir untuk pelumasan. sudah kuniatkan jika sejam bidan ga datang & bayi masih nyangkut, maka akan kumasukkan tanganku berpelumas zaitun untuk meraih kepala bayiku didalam sana.

   Namun ga jadi, karena qodarullah bayi udah keluar dalam kondisi tidur terbaring. alhamdulillah lega sudah hatiku melihatnya. para sisterhood kompak bikin berisik dengan mukul2 wajan & panci pake spatula di deket kuping bayi biar dia bangun, lalu kuhentikan mereka dengan bilang "udah daripada berisik mending kubangunin dia dengan adzanku saja" & kuadzanin dia dengan tenang & penuh kesyukuran, namun dia tetap lelap nggak bangun2.

   Tak lama kemudian bidanpun datang dengan aparat desa dan petugas posyandu. bukannya bergegas membantu bayi, bidan malah teriak2 panik: 

"ini kondisi darurat pak! bayi lahir sungsang ga langsung nangis itu wajib dibawa ke IGD Cimacan segera, untuk ditolong!". tetangga mulai berdatangan, sebagian membantu mendatangkan mobil ambulan untuk evakuasi pasien darurat. 

"TIDAAK PERLU, DIA MERAH, MASIH SEGAR & BERNAFAS, GA BIRU, GA KUNING, JADI DIA GA PERLU DIBAWA KE IGD RS CIMACAN. DULU KAKAK-KAKAKNYA JUGA GA NANGIS PAS LAHIR, BISA AJA KAN BAYINYA EMANG MASIH TIDUR" jawabku ikutan ngegas. enak aja mau langsung ambil bayiku pake vonis darurat.

"astagfirullah pak! saya bidan! saya tahu kondisi daruratnya! tiap jamnya sangat menentukan!" sahutnya.

"EMANG HITUNGAN KRITISMU TINGGAL BERAPA JAM LAGI? jawabku ngeyel. bidan itu langsung diam terpaku, ga bisa jawab pertanyaanku. emang manusia mana yg bisa menjawab jadwal detil kematian seseorang?

"TUNGGU DULU SEJAM LAGI BUAT PROSES IMD (INISIASI MENYUSUI DINI)" jelasku.

"GA BISA PAK! SAYA GA MAU! BAPAK HARUS TANGGUNG JAWAB KALO NOLAK KAYAK GINI. BAPAK HARUS TANDA TANGANI SURAT PERNYATAAN MENOLAK TINDAKAN MEDIS & JANGAN PERNAH BILANG KE SIAPAPUN BAHWA KAMI TIDAK MEMBANTU" intonasinya makin meninggi.

"OK SILAKAN BIKIN SURATNYA, & SAYA AKAN TANDA TANGANI, TENANG AJA! KU GA AKAN TUNTUT SIAPAPUN" sahutku ga kalah meninggi. bidan itupun langsung menulis surat pernyataan & tanpa membacanya langsung kutanda tangani saking keselnya. lalu dia memfoto surat itu sambil berkata ke para petugas desa&posyandu: "NIH SURATNYA, TOLONG DISAKSIKAN YA SEMUANYA, BAPAK INI MENOLAK TINDAKAN MEDIS". 

bapak mertuaku mulai mendekati bidan itu & menasehatinya dengan cara lembut. agar mau menolong bayi sesuai kapasitasnya.

   Kulihat kedua mata istriku mulai bercucuran airmata, menciumi bayi merahnya, sambil terisak, ga mau dipisahkan, dia bisiki telinga kecil dede bayi: " dek, ayo dek.. nangis dek, jangan biarkan mereka memisahkan kita deek" qodarullah pukul 14.14 WIB. bayikupun menangis pelan terisak-isak. akupun terenyuh ikut berkaca-kaca memandangi keajaiban ini. 

   Sempat kuabadikan: momen ade terisak saat dipeluk & dibisiki uminya.

   Sepertinya bidan itupun ikut terenyuh melihat fenomena ini, lalu bergegas melakukan resusitasi bayi. CPR, sedot hidung, menepuk, meniup, memijat yang dia bisa. kemudian memberikan suntikan ke istriku untuk melancarkan pengeluaran nifas dan plasenta. dia makin memerah lalu dipakaikan baju & bedong bayi. sempat kaget juga pas bayi ditimbang: 4,2 kg. meski gede banget tapi rupanya tidak sampai menimbulkan luka jahitan.

Pukul 15:14 WIB

   Di ruang tamu kita berkumpul. ada banyak warga yg berkunjung. di depan umum, bidan meminta maaf pada kami sekeluarga atas kepanikannya. dia sampai panik begitu, karena trauma dengan kejadian sebelumnya. Bayi tetangganya ga nangis pasca lahir dengan bantuan paraji, lalu dia bawa bayi tetangganya ke RS namun sudah keburu membiru & dinyatakan meninggal di RS tanpa sempat mendapatkan pertolongan medis. diapun dipersalahkan pihak RS karena telat membawanya. bener2 pengalaman yang traumatis. kamipun memaklumi & memaafkannya. bahkan ku sudah memaafkannya jauh sebelum dia meminta maaf di depan publik. hatiku sudah dipenuhi kebahagiaan atas kelahiran putriku. tak ada lagi tersisa ruang untuk amarah apalagi mendendam.

   Serasa lebaran, acara maaf-maafan publik berlangsung sangat hidmat penuh kekeluargaan. beginilah arifnya budaya luhur nusantara yang perlu dilestarikan. 

     "KONFERENSI PERS"

   Entah dapat energi darimana, luar biasanya istriku: dengan cantiknya masih bisa tampil sejam konferensi pers menghadapi para warga yg datang nengok & tanya jawab semua pertanyaan kepo warga yang melebihi paparazi. ku agak khawatir juga karena pengalaman lahiran dulu, istriku sampai pingsan malamnya. & benar saja, sesuai dugaanku, malemnya dia pingsan, & seperti pengalaman sebelumnya dengan tenang kubangunkan dia lewat nafas buatan :)

   Masalah berikutnya bayiku mulai pinter nangis histeris kenceng banget, tapi belom pinter menyusu. seolah bingung puting: mulut udah nempel puting tapi belom ngerti cara menghisap, mungkin akibat tidak langsung IMD pas lahir. kondisi ini berlangsung 2 hari sampai istriku nyaris putus asa. tapi kami terus berjuang memompa dan memberi asi lewat sendok. qodarullah bayiku mulai bisa menyusu saat aerola puting diolesi kurma kunyahanku. 

   Alhamdulillah. hikmah sunah rasul tahnik kurma sangat terasa betul manfaatnya. tak hanya menyelesaikan problem bingung puting tapi juga bermanfaat untuk mewariskan probiotik bakteri alami mulutku ke mulut bayiku.

   Drama awal kelahirannya pun dapat lancar terlewati bi idznillah. kuberi nama dia humayra=MERAH. warna keberanian, hujah terkuatku menjalani kehidupan sederhana thibun nabawi di desa, menghadapi tekanan dunia medik di zaman fitnah pandemi. tanpa bekal jaminan perlindungan asuransi apapun termasuk BPJS. hanya berlindung pada rahmat Allah kami merasa cukup, tetep sehat ya nduk.

"Meet the world humayra..We thanks to Allah, bring me 3rd live safely in this world of pandemic. welcome to earth mybaby girl

   we always love you. we believe God still love& take care every life in this world of despair. Rahmatullah is enough. nothing else matter.."



___________________________________________

Ameenah: Silent dark journey

Cipanas, Jumat, 24 Oktober 2025. Jam 23:01 Malam.

Lampu terang di ruang keluarga menyaksikan ketegangan yang tiba-tiba merangkul malam. Istriku, yang tadi sore masih terlihat kuat masak, nyuci, beres-beres lemari, kini terbaring lesu. Matanya memandangku, mencoba menyembunyikan rasa takut yang kutahu kembang kempis di dadanya. "Darah," bisiknya lirih, tangannya menunjuk ke bawah. Dadaku sesak, tapi seperti biasa, ruang untuk panik tak kubiarkan mendominasi.

Aku berusaha tenang, mengingat setiap langkah yang sudah direncanakan. Kulanjutkan ritual: menuangkan ramuan lancar lahir—campuran sari kurma ajwa dan seduhan rumput fatimah—ke dalam tumbler. Cairan gelap pekat itu sepekat doa doa yang tak henti kami panjatkan, harapan agar segalanya dilancarkan. Aamiin Biidznillah.

Malam ini, kami merasa tak punya banyak pilihan. Faskes tingkat pertama, Puskesmas terdekat Sukanagalih yang cuma 4 kilometer dari sini, sudah tutup sejak jam tiga sore. Ramuan lancar lahir yang biasanya dia minum berefek cepat, kali ini berefek sangat lambat. Tidak ada pilihan lain. RS Cimacan, faskes tingkat dua, menjadi tujuan. Tiga belas kilometer perjalanan menanjak di rute pegunungan terjal dan berbatu. Jalan yang biasanya kuhindari, terpaksa kupilih malam ini.

"Kita siap-siap naik ambulan desa," kataku pada istriku, mencoba meyakinkan. Tangannya menggenggam erat tanganku, dingin. Kurasakan getar ketakutan sekaligus ketangguhan yang luar biasa dari dirinya.

Dengan tas ransel, tikar & tas jinjing di satu tangan dan menggandeng tangan istriku di tangan yang lain, kami melangkah keluar rumah menyambut dinginnya malam. Ambulan desa tua yang catnya sudah kusam itu sudah siap, mesinnya menggeram rendah seperti memahami betapa gentingnya misi ini.

"Bismillah, semoga dimudahkan," gumamku dalam hati saat membantu istriku naik ke pintu depan. Ku naik di Pintu belakang, dan kami mulai mengarungi gelapnya jalan pegunungan, meninggalkan cahaya rumah yang hangat, melewati gulita ketidakpastian. 

--0O0--

Malam itu juga, jam 11.45, ambulan desa tiba di depan pintu darurat IGD RS Cimacan. Ku Disambut oleh labirin birokrasi yang melelahkan jiwa. Sementara istriku langsung digiring ke ruang skrining, aku terlempar ke dalam arus administrasi yang tak kenal ampun. Ruang Pendaftaran, farmasi, admisi, lab. Aku seperti bidak yang dipaksa bolak-balik mondar-mandir menyebrang jalan raya antar gedung, menghadapi wajah-wajah lelah petugas shift malam. Setiap meja, setiap jendela, meminta secarik kertas, sebuah stempel, sebuah persetujuan tanda tangan. Dunia seolah berputar pada formulir dan antrean.

Di tengah kekalutan itu, ada satu hal yang mereka tak lupa: protokol. Seorang petugas administrasi dengan masam menyalahkanku. "Langsung ke faskes dua tanpa rujukan? Ini tidak prosedural, Pak!" Katanya seperti nuduh. Aku hanya bisa menghela, energi untuk berdebat sudah habis untuk menenangkan hati sendiri dan membantu istriku bertahan.

Namun, segala protes itu tiba-tiba lenyap begitu hasil skrining istriku keluar. Ekspresi wajah petugas dan perawat yang menanganinya berubah drastis. Kekhawatiran yang nyata menggantikan kesibukan yang kaku. Diagnosis medis darurat mereka sampaikan kepadaku dengan nada berat: G4P3A0 Parturien aterm kala I fase laten; Inersia Uteri Hipotonik; HiperTensi Gestasional. Istilah medis itu bagai palu godam, namun intinya jelas: kondisi kritis.

Lalu, dengan sigapnya, seorang suster kepala mendekat dan menyodorkan selembar formulir baru. "Kami harus bertindak cepat, Pak. Mohon tanda tangani ini, persetujuan untuk operasi SC dan... sterilisasi rahim."

Oh, No. Jantungku serasa copot. 

Tidak semudah itu. Dunia ini tidak semudah itu mengambil sebuah pilihan sekejap yang akan mengubah hidup selamanya hanya dengan coretan tanda tangan di formulir tengah malam yang panik.

Kalimat medis itu menggantung, tajam dan dingin. otakku yang pernah kuliah biokimia medis langsung memahami bahwa—rahim yang lelah dengan empat kali kehamilan, mengalami macet lama di fase bukaan satu, tekanan darah tinggi yang mengamuk—semuanya berujung pada satu ancaman: pendarahan pre-eklampsia yang membahayakan ibu dan bayi. Tapi, jiwa ini menolak. Tindakan ekstrem operasi cesar & pengangkatan rahim itu takkan pernah kusetujui.

"Kami pilih jalan normal dulu," suaraku terdengar lebih tenang dari yang kuduga. "Non-invasif." Kuberikan argumen reputasi istriku sebagai bukti: perempuan tangguh yang bahkan sanggup melahirkan normal dalam kondisi bayi pertama prematur 8bln, bayi kedua kelewat HPL hampir 1 bln & bayi ke3 sungsang, lahir normal di rumah semuanya. 

"Dan biar saya saja yang disterilisasi. Jangan istri saya.dia masih sangat muda 7 thn dari saya" Kata-kata itu keluar dari relung hati paling dalam. "Dia sudah cukup banyak menderita. Biarkan deritanya juga saya yang tanggung."

Mereka mulai jengah. Langsung memberiku selembar formulir lain berjudul "Penolakan Tindakan Medis SC dan Sterilisasi". Tanpa ragu, kusambut dan kutandatangani. Coretan parafku adalah tembok tinggi pembatas antara keyakinan kami dengan protokol mereka.

"Tapi diedukasi istrinya ya, Pak," sahut seorang perawat tua mencoba mencari jalan tengah. "Biar mau diinduksi dan minum obat hipertensinya. Tadi ibunya gamau & masih takut"

Oke, mendinglah itu.

Kupalingkan kepala. Dari jarak hanya enam meter, istriku terbaring, matanya lebar memandangku. Ku tahu Dia mendengar semuanya. Dalam diam, kami berkomunikasi lewat tatapan. Dan akhirnya, dengan napas berat, dia mengangguk pelan. Dia setuju untuk induksi intra vaginal dengan prostaglandin, meski wajahnya masih menyisakan ketakutan akan nyeri yang akan membayangi. Tapi untuk obat hipertensi, dia menolak. "Itu cuma karena stres, abi. Guncangan di jalan tadi," bisiknya yakin. Kupercayai feeling-nya. Aku tahu, darah rendahlah yang lebih sering muncul, darah tinggi itu hanya sesaat, muncul setelah dia makan ikan asin. "Gapapa ga usah minum obat darah tinggi, mereka ga tau ini." Bisikku. 

Saat perawat memasukkan induksi prostaglandin intra vaginal, Pikiranku melayang. flashback pada Drama kemarahan istriku yang selalu menolak induksi alami (hubungan suami istri yang mengandung prostaglandin alami) sampai-sampai beberapa perabot pecah berantakan. Padahal di kehamilan pertama, kedua, ketiga, tak pernah dia menolak. momen hamil keempat ini segalanya berubah. Hasratnya hilang, amarahnya mudah menyala-nyala.

Aku tak menyalahkannya. Bagaimana mungkin? Di usiaku yang menginjak 45 tahun, dengan upah minimum di pesantren yang tak pernah naik selama enam tahun belakangan, sementara anak nambah jadi empat... Di Akhir zaman yang serba inflasi, jelas kalkulasinya nggak cukup. Ga terjebak riba& pinjol itu udah bagus. Aku tahu diri. Fisik tuaku sudah nggak menarik lagi, dandanan ga pernah necis, dompet tipis. Kesabarannya bertahan hidup bersamaku selama 16 tahun ini saja sudah "Alhamdulillah" yang tak henti hentinya wiridkan. 

__0O0__

Malam itu kami nginap di ruang IGD, mata terjaga, diterangi lampu neon dan harapan doa untuk esok yang lebih baik.

Paginya, Sabtu jam tujuh, kami dipindahkan ke ruang bersalin. Seorang perawat memeriksa tekanan darah istriku. "Normal," ujarnya, mengira obat hipertensinya bekerja. Padahal, pil itu tak pernah sampai di kerongkongannya. Aku dan istri hanya saling memandang, senyum tipis mengembang dalam diam. Feeling istriku ternyata benar. Sebuah kemenangan kecil di tengah ketegangan.

Tapi, birokrasi tak kenal ampun. Aku serasa di ospek dipaksa mondar-mandir lagi. Kaki ini melangkah lagi, menyeberang antar gedung, mengurus rentetan administrasi yang sama: pendaftaran ulang, ruang farmasi, ruang admisi, lab. Melelahkan, namun sudah jadi bagian dari tradisi RS.

"Masih macet di bukaan satu, Pak," lapor seorang bidan. "Mohon tanda tangani ini, form untuk induksi KEDUA intravena oksitosin."

Oke lah.

Kutandatangani lagi selembar kertas itu. Istriku makin ketakutan. Dokter sebelumnya sudah mengingatkan tentang anatomi leher rahimnya yang terlihat bengkak dan turun. "Khawatir pecah. Jangan mengejan di awal kontraksi," pesannya. "Nanti saja mengejarnya saat bukaan terakhir." Kata2 itu makin bikin stres istriku. 

Saat jarum infus oksitosin masuk vena tangan kanannya dan cairan itu mulai mengalir, air mata istriku pun meleleh. Kontraksi hebat langsung menghantam. "Abi! Ga kuat! Sakit banget!" tangisnya, menggigit bibir. "Cesar saja ya, Abi! Ga kuat ya Allah"

Aku meraih tangannya, memijat pundak punggung & pinggang nya lalu memeluknya erat. Ku bisikkan "Udah, gapapa. Alami aja. Kita ga usah dengar seratus persen kata mereka. Kalau mules dan pengen ngejan, ya mengejan saja. Mereka kan ga merasakan sakitnya." Kuraih keyakinan dari memori paling berharga kami. "Ingat, kita dulu berhasil lahiran anak ketiga yang sungsang, dengan gaya Bunda Maryam mengguncang pohon kurma. Jadikan aku pohon kurmamu sekarang."

Matanya yang basah menatapku, mencari dan menemukan keyakinan yang sama. Dia mengangguk pelan, lalu memelukku erat. Tubuhnya gemetar berguncang-guncang mengikuti irama kontraksi yang menerpa, bersandar dan merengkuh "pohon kurma"-nya yang setia mendampingi nya. Seperti pohon kurma yang digoyang badai, kami hanya berserah & bergantung pada keyakinan yang sama, bibir tak henti menyebut asma-Nya memohon Rahmatullah meliputi perjuangan kami. 

Dan kemudian, di penghujung senja, tepat jam lima sore, setelah sekian lama perjuangan yang mengharu biru, suara tangis pertama pecah menyambut dunia. Lahirlah putri kecil kami, sehat dan selamat, Segala lelah,cemas, rasa sakit, segala ketakutan, terbayar sudah detik itu juga.

Alhamdulillah.Segala puji bagi-Mu.

--0O0--

Senja pun tiba, mengantar kami ke babak baru. Badai telah berlalu, meninggalkan kelelahan yang dalam namun penuh syukur. Usai shalat Maghrib yang kukerjakan di sudut hening koridor, kami dipindahkan ke ruang rawat inap, Ruang Alamanda di lantai dua.

Dan sekali lagi, ritual yang sama menantiku. Aku seperti aktor yang mengulang adegan monoton dalam sebuah drama panjang. Kaki linu linu ini kembali melangkah, menyusuri lorong yang sudah hafal di luar kepala. Pendaftaran ulang, antre di farmasi, urus berkas di admisi, dan sekali lagi ke lab. Bolak-balik, mondar-mandir, seolah tenaga dan kesabaran yang tersisa sengaja diuji hingga tetes terakhir.

Di tengah rentetan itu, seorang perawat muda menyodorkan selembar formulir lain. "Untuk vaksin Hepatitis bayi, Pak."

Jantungku berhenti sebentar. Kenangan pahit itu datang menerjang. Bayangan anak pertama kami, yang sebelumnya sehat sempurna, tiba-tiba lumpuh dan tak bisa BAB setelah divaksin combo DPT. Dunia kami waktu itu runtuh. Trauma KIPI itu masih membekas dalam, menjadi luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Alhamdulillah Terapi Thibunabawi memulihkannya dalam sebulan. 

"Tidak," kataku, berusaha menenangkan suara yang gemetar. "Saya tanda tangani form penolakan vaksin saja."

Perawat itu menghela napas, tapi tidak memaksa. "Baik, Pak. Tapi tolong jangan tolak tes SHK, Skrining Hipotiroid Kongenital. Ini program wajib pemerintah. Untuk Deteksi dini stunting"

Kupandang formulir yang dia sodorkan berikutnya. Tes SHK. Hanya seuntai tetes darah dari tumit bayi. Tidak terlalu invasif. Tidak seperti jarum vaksin yang dulu mengubah segalanya.

"Oke,"kujawab lega. "Deal."

Malam itu, sekitar pukul sepuluh, keheningan kamar kami pecah oleh kedatangan kakek dan paman. Wajah-wajah lelah mereka disinari cahaya sukacita melihat si bungsu yang mungil. Obrolan pun mengalir, menghangatkan ruangan. Tapi mata ini sudah tak kuasa lagi menahan beban. Di sela-sela obrolan, tanpa kusadari, aku terlelap. Tidur yang begitu pulas, untuk pertama kalinya setelah berhari-hari terjaga dalam ketakutan.

Keesokan harinya, setelah semua prosedur selesai, termasuk tes SHK yang hasilnya akan menyusul, akhirnya kami bisa pulang. Rasanya seperti dibebaskan dari penjara panjang. Langkah kaki menuju mobil jemputan terasa begitu ringan, seolah menginjak awan.

Dan saat pintu rumah terbuka, sebuah pemandangan indah menyambut. Sorak-sorai anak-anak yang sudah rindu, pelukan hangat keluarga besar, dan mata berbinar yang memandang si kecil baru: Ameenah namanya, bermakna keamanan, ketenangan, kepercayaan, dan kesetiaan.

Semua keletihan, semua perjuangan berdarah di ruang bersalin, semua birokrasi yang melelahkan, lumer seketika.

Kami pun berkumpul di ruang tengah yang penuh tawa. Alhamdulillah, senang akhirnya kami kembali utuh.

Tradisi jagong bayi: kumpul keluarga jagain bayi. 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer